Jumat, 07 Oktober 2011

MUTU KAKAO INDONESIA MASIH RENDAH

Kakao  merupakan tanaman tahunan yang menjadi salah satu unggulan ekspor non migas Indonesia. Kakao berpotensi tetap menjadi produk unggulan pertanian di Indonesia karena iklim Indonesia yang tropis dan dapat memenuhi syarat tumbuh tanaman tersebut. Untuk saat ini, Indonesia merupakan produser kakao nomor tiga terbesar di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana.
Kakao Indonesia memiliki keunggulan yaitu tidak mudah meleleh sehingga cocok digunakan untuk blending. Apabila difermentasi dan diolah dengan baik, maka kualitasnya dapat mengalahkan kakao Ghana. Pasar kakao Indonesia juga berpotensi untuk tetap naik apalagi kondisi Indonesia lebih baik daripada kedua negara pesaing tersebut.
Tanaman perkebunan ini telah mendorong dunia agribisnis Indonesia menjadi lebig menggeliat. Hal ini dibuktikan dengan penyerapan tenaga kerja yang cukup besar. Pada tahun 2010, tercatat 900.000 kepala keluarga petani kakao di Indonesia. Perkebunan kakao di Indonesia sebagian besar (87,4%) merupakan perkebunan rakyat sedangkan sisanya dikelola perkebunan besar (6%) dan perkebunan swasta (6,7%).
Varietas kakao yang umumnya ditanam di perkebunan kakao di Indonesia adalah varietas Criolo (Fine Cocoa), Forastero (Bulk Cocoa) dan Trinitario (Hybrid). Dari ketiga jenis tersebut, yang memiliki tingkat produksi tinggi adalah varietas Forastero terutama kultivar Upper Amazone Hybrid (UAH). UAH juga cepat mengalami masa generatif setelah 2 tahun dan tahan penyakit VSD (Vascular Streak Dieback).
Hasil produksi tanaman yang tinggi dapat dimungkinkan dengan memenuhi semua syarat tumbuh, pengadaan bibit yang berkualitas tinggi dan manajemen lahan yang baik. Banyak daerah di Indonesia yang cocok untuk lokasi tanam kakao karena dapat memenuhi syarat tanaman kakao. Pengadaan bibit kakao kualitas tinggi sudah mulai dikembangkan dengan penggunaan teknik Somatic Embryogenesis (SE) sehingg diharapkan dapat mendukung penyediaan bibit klonal skala massa. Namun, manajemen lahan kakao di Indonesia masih belum optimal, masih butuh perbaikan.
Beberapa tahapan harus dilewati dalam pembudidayaan kakao, dimulai dengan pembuakaan lahan, pembibitan, penanam tanaman pelindung, penanaman bibit, pemeliharaan (penyiraman, pemangkasan, penyiangan gulma, proteksi terhadap hama dan penyakit, dan panen. Selanjutnya adalah pascapanen yang terdri atas pemeraman, pemecahan buah, fermentasi, perendaman dan pencucian, penyortiran dan penyimpanan. Tahapan tersebut menggambarkan bahwa industri kakao di Indonesia berpotensi meluas bahkan sampai ke industri hilir dan pengolahan kakao lebih lanjut menjadi produk siap pakai.
Indonesia termasuk ke dalam jajaran produsen kakao terbesar dunia namun kebutuhan kakao dalam negeri masih sedikit. Tigaperempat dari produksi kakao Indonesia diekspor di dalam negeri sementara seperempat lainnya digunakan untuk industri dalam negeri. Impor kakao Indonesia juga kecil, bahkan ada kecenderungan penurunan impor biji. Indonesia lebih mengimpor kakao dalam bentuk makanan jadi atau produk-produk yang mengandung kakao. Negara penghasil kakao/cokelat terbesar adalah Belanda, padahal negara ini juga termasuk dalam pengimpor biji kakao terbesar.
Banyak masalah yang harus dihadapi perkakaoan Indonesia. Masalah-masalah tersebut sangat luas dan rumit yang terbentang dari industri hulu sampai hilir. Apabila dicari masalah utamanya maka akan didapatkan persoalan sumberdaya, kebijakan dan keuangan.
Masalah utama pertama yang menimpa perkakaoan Indonesia adalah sumberdaya manusia yang kurang. Sekitar 87% petani kakao Indonesia memiliki pengetahuan yang kurang mengenai seluk-beluk perkakaoan. Mereka mungkin hanya mendapatkan keahlian bercocok tanam kakao yang diwariskan dari pendahulu mereka. Padahal perkebunan kakao Indonesia didominasi oleh perkebunan rakyat.
Sumber daya manusia yang minim dapat menyebabkan manajemen yang tidak optimal. Beberapa pihak telah mengusulkan untuk menambah jumlah tenaga penyuluh petani kakao terutama untuk daerah Sulawesi yang merupakan penghasil kakao terbesar di Indonesia saat ini. Penyuluhan dengan materi bercocok tanam saja juga tidak begitu berpengaruh, sehingga dibutuhkan penyuluhan terpadu yang dapat menggeliatkan masyarakat kakao secara keseluruhan.
Masalah berikunya adalah kebijakan pemerintah yang menyebabkan hampir semua ekspor kakao Indonesia dalam bentuk biji. Pemerintah yang menetapkan PPN 10% untuk pembelian biji kakao. Petani menjadi lebih senang mengekspor biji kakao daripada mengolahnya kembali. Industri pengolahan kakao dan coklat di Indonesia juga menjadi lesu, keragaman produk kakao juga rendah. Padahal, pada pohon industri kakao, berbagai macam potensi industri dapat dihasilkan, mulai dari cocoa powder, cocoa concentrate sampai cocoa butter untuk industri makanan; lethicin, tannin, alkohol untuk industri kimia; hingga pupuk hijau dan pakan ternak. Untuk itu, perlu ditinjau kembali kebijakan tersebut, atau pemerintah lebih mendorong petani kakao Indonesia dengan segala fasilitas fisik, dana dan kebijakan lain yang mendukung.
Masalah utama terakhir adalah masalah keuangan atau dana. Kekurangan modal membuat rentetan masalah yang panjang. Hal ini diperparah dengan sulitnya menerima pinjaman bank, naiknya harga pupuk dan pestsida dan penurunan harga kakao di tingkat petani.
Data menyebutkan bahwa tahun 2010 terjadi penurunan harga kakao di Indonesia mengalami penurunan. Penyebab utamanya adalah anjloknya harga kakao dunia. Kondisi tanaman yang tua sehingga produksi cenderung terus menurun. Tahun ini bahkan akan diprediksikan terjadinya penurunan produksi karena banyak tanaman yang akan di revitaslisasi. Revitalisasi yang akan menyebabkan penurunan produksi tahun 2011 ini diharapkan dapat meningkatkan produksi untuk tahun-tahun berikutnya.
Indonesia merupakan produsen kakao nomor tiga terbesar di dunia namun biji kakao Indonesia kurang diminati karena mutu kakao Indonesia rendah. Selama ini, biji kakao Indonesia merupakan batas standar mutu ekspor-impor biji kakao. Bahkan di Amerika Serikat, biji kakao Indonesia mendapatkan automatic detention kerena sering ditemukan jamur, kotoran, serangga dan benda-benda asing lainnya.
Rendahnya mutu kakao Indonesia ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
1. Kualimortas tanaman kakao Indonesia yang menurun, karena kebanyakan kakao di Indonesia telah menua.
2. Penyakit VSD (Vascular Streak Dieback) dan hama PBK (Pengerek Buah Kakao) yang menyerang kebanyakan perkebunan kakao di Indonesia.
3. Biji kakao Indonesia jarang yang di fermentasi terlebih dahulu, padahal mutu biji yang telah difermentasi lebih baik daripada yang belum difermentasi.
4. Teknologi pascapanen yang masih sederhana dan mesin pengolahan yang telah tua.
5. Sarana dan prasarana pendukung yang kurang, seperti gudang; pasokan listrik yang kurang; transportasi dari, ke dan di dalam kebun, tempat pengolahan dan menuju negara pengekspor yang masih buruk.
Mutu kakao Indonesia yang cenderung tidak membaik ini menyebabkan persepsi pasar dunia terhadap kakao Indonesia sulit membaik. Selain automatic detention yang dilakukan Amerika Serikat, beberapa negara ekspor memberikan tarif yang lebih tinggi. Permasalahan ini sulit dipecahkan, kecuali Indonesia meningkatkan mutu kakaonya dan adanya campur tangan pemerintah.
Keadaan alam Indonesia merupakan potensi awal produksi kakao Indonesia namun produksi yang optimal tidak bisa mengandalkan sumberdaya saja, namun dibutuhkan sumberdaya manusia yang baik, kepedulian pemerintah dan modal yang cukup. Produksi yang optimal bukan hanya dalam bentuk kuantitas namun kualitasnya. Mutu kakao harus ditingkatkan untuk mendapatkan kembali kepercayaan pasar dunia.
Banyaknya masalah yang menimpa kakao Indonesia, membutuhkan kejasama semua pihak untuk menjalankan keseluruhan manajemen kakao yang sangat rumit ini, mulai dari petani, pemerintah, akademisi dan pihak-pihak lainnya. Kerjasama yang terpadu dapat meningkatkan potensi keberlanjutan industri kakao di Indonesia
@@@@@@@@

2 komentar:

  1. Untuk Pak Suryokoco Adiprawiro, silakan... jika bapak itu menarik dan wajar untuk di publikasikan pada medya yang bapak miliki. saya siap berbagi.

    BalasHapus